Kamis, 24 Januari 2008

DIMANA LETAK KESESATAN AHMADIYAH?

Oleh: Ki Waras Jagat Pakuan


 

    Ketika NKRI sedang menghadapi berbagai cobaan dan tantangan yang sangat berat pasca lengsernya Presiden Soeharto, muncul di sana sini gerakan Islam Radikal di Indonesia seperti Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Fron Pembela Islam (FPI), Hijbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai Wadah politik kelompok-kelompok Islam Radikal tersebut. Pada dasarnya gerakan-gerakan ini merupakan penerus perjuangan Sekarmaji Kartosuwiryo dengan DI TII-nya. Keinginan mereka untuk merubah hukum yang berlaku di NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dengan Hukum Islam atau lebih terkenal dengan istilah mereka "Syari'at Islam" adalah tujuan mereka yang pertama dan utama. Dalam khayalan mereka; jika Syari'at Islam sudah menjadi hukum resmi di NKRI maka mereka segera akan memilih seorang Khalifah untuk mengawasi pelaksanaannya.


 

Ahmadiyah Dijadikan Target Utama Kelompok Islam Radikal

    MMI, FPI, FUI, PKS dan organisasi masa yang sejalan dengan mereka menganggap bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia akan menjadi Batu Sandungan tujuan-tujuan radikal mereka, demikian ini karena Ahmadiyah adalah aliran Islam moderat yang anti kekerasan dan satu-satunya aliran Islam yang sudah sejak 100 tahun yang lalu melaksanakan nizhām Khilāfah (Sistem Kekhalifahan) di bawah seorang Imam atau Khalifah yang berpusat di Rabwah, Pakistan atau London, Inggris. Khilafah Ahmadiyah bersifat keagamaan semata dan sama sekali ghair siyāsiyyah
(bukan Khilafah Politik), sedangkan kelompok Islam Radikal menginginkan dan menghayalkan Khilafah Politik.

    Kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia, pasca lengsernya Soeharto lambat laun berhasil mengambil alih kendali Majlis Ulama Indonesia (MUI), selama ini mereka kerapkali menggunakan fatwa-fatwa MUI untuk menghantam kelompok-kelompok Islam moderat, kelompok-kelompok yang dianggap mereka sesat dan kalangan praktisi supra natural. Setelah penulis mengamati kelompok-kelompok Islam Radikal lebih dari 25 tahun, penulis berkesimpulan bahwa "BUDAYA KEKERASAN" yang mereka tonjolkan adalah "BUDAYA IMPORT" dari Timur Tengah wabilkhusus "BUDAYA WAHABIYAH" dari Saudi Arabia. Budaya Kekerasan mereka sangat kontras dengan Budaya Cinta Damai dan Bhineka Tunggal Ika Bangsa Indonesia.


 

Kenapa Tanah, Air, Angin dan Api Murka di NKRI?

    Setelah penulis banyak bertafakur, merenung serta mengamati baik secara lahiriyah maupun bathiniyah penulis sampai kepada suatu kesimpulan bahwa, MURKANYA TANAH, AIR, ANGIN DAN API di Negara tercinta disebabkan oleh tiga hal:

  1. Berkembang luasnya keinginan dan usaha-usaha Kelompok Radikal untuk merusak Konsensus dan Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia mengenai Pancasila dan UUD 45, dimana umat Islam yang tulen akan sangat menjunjung tinggi perjanjian luhur ini;
  2. Terkikisnya budaya Cinta Kasih, Keadilan, dan Toleransi yang mendasari terbentuknya NKRI. Serta munculnya berbagai keserakahan manusia baik di kalangan atas, menengah maupun bawah; dan
  3. Turunnya do'a-do'a (kutukan-kutukan) mazhlūmiin (masyarakat yang pernah dizalimi), yang sebelumnya masih tertahan di lauh mahfūdz.


 

Selama tiga hal di atas masih kita pertahankan di NKRI dan kita tidak segera kembali kepada Pancasila, UUD 45, dan Bhineka Tunggal Ika dalam ucapan dan tindakan (bukan sebatas retorika) maka saya khawatir bahwa selama itu pula TANAH, AIR, ANGIN DAN API akan selalu murka terhadap bangsa ini.


 

Kenapa Ahmadiyah Dianggap Sesat Oleh Kelompok Islam Radikal dan MUI?

    Titik sentral dari anggapan sesat terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah adanya perbedaan tafsir terhadap ayat 40 Surat Al-Ahzab yang berbunyi:

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu [bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.], tetapi Dia adalah Rasulullah dan khatam para nabi dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu."

    Kelompok Islam Radikal dan MUI memahami lafazh Khātam secara tekstual (lafhiyyah) dan paradigma islamologhi yang dangkal. Mereka hanya mau mengartikan dengan arti akhir, penutup dan penghabisan sehingga dengan demikian kata Khātam An-nabiyyiin mereka fahami bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah Nabi Penutup, Nabi Yang Akhir, atau Nabi Penghabisan "tok". Padahal secara tekstual (lughat) saja kata Khātam itu mempunyai arti yang lain seperti; cincin, cap, dan stempel. Jadi secara lafzhiyyah saja ada kemungkinan kata Khātam itu mempunyai arti yang lain selain yang difahami dan diakui MUI cs. Adapun Ahmadiyah memahami ayat 40 Surat Al-Ahzab itu selain secara tekstual juga secara kontekstual dengan berbagai pendekatan islamologhi yang luas dan dalam.

    Secara tekstual, Ahmadiyah mengartikan kata khaatam an-nabiyyiin dengan pengetian "cincin, cap dan stempel para Nabi" karena memang Nabi Muhammad Saw. secara isyāriy memiliki sifat yang sangat Indah dan pemegang Keabsahan baik dalam hal kenabian maupun hukum. Selanjutnya melalui pendekatan Gaya Bahasa (Balāghiyyah) saja dengan mudah Ahmadiyah dapat memahami kata Khātam An-nabiyyiin dengan pengertian majazi, diantaranya "Perhiasan Para Nabi". Kalau ditinjau dari segi keilmuan maka pemahaman seperti itu adalah syah dan harus diakui dan dihormati.

    Lebih lanjut ternyata Ahmadiyah memahami khātam an-nabiyyiin dengan pendekatan Islamologhi yang lebih tinggi dan dalam, yakni melalui Fiqhu Al-Lughah (Filologi) dan Ilmu Al-Mantiq (Ilmu Logika). Dalam kedua ilmu itu ternyata ada satu obyek bahasan yang disebut Al-Istiqra' (cara berfikir filasafi induktif). Berdasarkan istiqra' jika kata khaatam di-idhafat-kan (disandarkan) kepada kata jama' seperti an-nabiyyiin maka artinya akan selalu mempunyai arti a-afdhalu (yang terbaik) atau yang semakna dengan itu. Dengan demikian arti kata khaatam an-nabiyyiin, akan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw adalah YANG TERBAIK DARI ATAU DI ANTARA PARA NABI. Bagi orang yang berfikiran sehat, tidak emusional, rendah hati dan tidak keras kepala pengertian semacam itu BUKAN PENODAAN AGAMA, AKAN TETAPI PEMULIAAN AGAMA.

    Berikut ini adalah contoh-contoh kata Khātam
yang diidhafatkan kepada kata jama' sebagai istiqra'dalam literatur Islam:

  1. Sayyyidina Ali dijuluki خاتم الأولياء Khātamul auliya
    (Tafsir Shāfi)

  2. Plato dijuluki خاتم الحكماء
    Khātamul Hukama (Miratus-suruh).
  3. Syamsuddin dijuluki
    خاتم الحفاظ Khātamul Huffadz (At-Tajridus Shariih)
  4. Rasyid Ridho dijuluki
    خاتم المفسرين Khātamul Mufassirin (Al-Jami' Al-Islam)
  5. Abu Tammam dijuluki
    خاتم الشعراء Khātamsl Syu'ara (Wafiatul 'Ayan)
  6. Imam Jalaluddin As-Suyuti dijuluki
    خاتم المحققين Khātamul Muhaqqiqin (Al-Itqan fii 'ulūmil Qur'an)
  7. Muhammad Abduh dijuluki
    خاتم الأئمة Khātamul Aimmah (Tafsir Sūratil Fātihah)
  8. Manusia disebut
    خاتم المخلوقات جسمانيا Khātamul Makhlūqāt Jasmānyian (At-Tafsir Al-Kabir)
  9. Nabi Isa as dijuluki
    خاتم شقاءالأئمة Khātamul Syifa Al-Aimmah (Baqiyyatul Mutaqaddimin)
  10. Syaikh Waliullah Dehlawi dijuluki
    خاتم المحدثين Khātamul Muhadditsin (Ujala Nafi)
  11. Abu Hasan Kabus bin Abi Thahir dijuluki
    خاتم الملوك Khātamul Muluk (Wafiatul 'Ayan)

Apabila kita memaknai kata
خاتم
dengan pengertian terakhir atau penutup pada ungkapan kalimat-kalimat di atas tidak dengan makna yang paling utama, paling mulia, terbaik, paling sempurna, ataupun yang sepadan dengan itu, maka Plato yang dijuluki خاتم الحكماء, Syamsuddin
خاتم الحفاظ

ataupun
Rasyid Ridha yang dijuluki
خاتم المفسرين
dimaknai dengan Hakim terakhir, penghafal terakhir, dan mufassir terakhir padahal kita melihat bahwa sesudah beliau-beliaupun muncul juga para hakim, para penghafal, dan para mufassir yang jumlahnya sangat banyak. Oleh karena itu pemaknaan tersebut tidak tepat, yang tepat adalah secara istiqra'iy bahwa beliau-beliau adalah: hakim utama, penghafal terbaik dan mufassir
ternama. Demikian juga untuk Abu Tamam, Imam Suyuti, Muhammad Abduh, dan seterusnya.

    Adapun sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: لا نبي بعدى
Lā Nabiyya Ba'di (Tidak ada lagi nabi sesudahku) dan matan-matan lain yang semakna dengan hadits ini, Jemaat Ahmadiyah tidak menyangsikan lagi keshahihannya. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh para perawi masyhur yaitu : Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Tirmidzi, Ibnu Hiban dan Ibnu Majah. Kita dapat menelaahnya melalui shihah sittah.

    Kalau kelompok Islam radikal dan MUI memahami hadits tersebut secara harfiyah, maka Ahmadiyah tidak demikian. Ahmadiyah memahami hadits tersebut setelah memperhatikan hadits-hadits lain, dimana secara mutawatir maknawi bahwa Rasulullah Saw. telah menjanjikan akan turun dan munculnya Al-Masih Al-Mau'ūd (Al-Masih Yang Dijanjikan) dan Al-Mahdi Al-Muntazhar di akhir zaman ini. Ahmadiyah melihat bahwa kata pada kata Lā Nabiyya Ba'di adalah Lā lilkamāl (untuk menunjukkan kesempurnaan), karena syari'at Islam adalah syari'at yang sudah sempurna demikian juga kenabian Muhammad Saw. Dengan demikian arti hadits Lā Nabiyya Ba'di bagi Ahmadiyah adalah: "Tidak ada lagi nabi setelahku yang datang untuk menghapuskan syari'atku". Arti semacam ini sebenarnya adalah arti yang diambil oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Syaikhul Akbar Ibnu Arabi, Syaikh Ar-Rabbaniy Abdul Wahhab Sya'rani dan ulama-ulama lain dari kalangan Sufi.

    Masalah kemunculan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. sebagai Al-Masih yang dijanjikan dan Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu sama sekali tidak mengurangi kesempurnaan dan keagungan Rasulullah Saw. karena beliau datang hanya untuk mengembalikan agama Islam kepada kejayaannya yang kedua, melalui ajaran-ajaran Islam yang indah dengan cinta dan kedamaian serta anti kekerasan. Beliau sama sekali tidak membawa syari'at baru, syahadat baru, ataupun kitab suci baru. Rukun Islam dan Rukun Iman yang beliau ajarkan persis sama dengan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Demi Allah, inilah yang penulis saksikan secara lahir maupun batin.

    Demikianlah apa yang difahami Ahmadiyah pada dasarnya adalah pemahaman yang tidak perlu dipersoalkan, lā siyyamā (terlebih-lebih) kalau harus dianggap sesat atau kafir. Mungkinkah     Imam Jalaluddin As-Suyuthi, seorang ahli tafsir dan hadits yang kitab-kitabnya jadi rujukan utama di pesantren-pesantren dikatakan sesat atau kafir? Demikian juga dengan Syaikhul Akbar Ibnu Arabi dan Asy-Syaikh Ar-Rabbaniy Abdul Wahhab Sya'rani?


 

Kalau Ponis Sesat Dan Kafir Diserahkan Kepada Manusia, Maka Sekarang Sudah Tidak Ada Lagi Orang Islam.

    Kalau kita teliti sejarah panjang umat Islam, maka kita akan dapati bahwa para pengikut Wahabiyah, salah satu sekte yang getol mengkafirkan dan menyesatkan kelompok lain ternyata Guru Besar mereka seperti; Muhammad bin Abdul Wahhab, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim mendapat cap kafir dan sesat pula dari lawan-lawan mereka. Demikian juga adanya kenyataan bahwa dua kelompok besar Islam, Ahlus-Sunnah dan Syi'ah hattal ān tidak berhenti bertempur secara fisik maupun aqidah dengan sebab cap kafir, murtad atau sesat itu. Tidaklah MUI mau bercermin kepada sejarah? Kapan MUI dapat wahyu sehingga berani mengkafirkan para pembaca dua kalimah syahadat?.

    Seandainya kelompok-kelompok yang dinyatakan sesat atau kafir oleh MUI balik mencap sesat dan kafir sama MUI dan antek-anteknya, maka siapa lagi yang tersisa di NKRI yang masih Muslim?. Oleh karena itu, MUI mendingan sibuk mengurus umat agar bersatu padu saling menyayangi, memberi, dan memerangi kemiskinan umat daripada mengeluarkan fatwa yang mendorong kelompok radikal untuk berbuat anarki dan merongrong wibawa pemerintah.

    Nabi Saw. bisa saja memfatwakan sesat kepada orang lain karena beliau mempunyai otoritas untuk itu dengan bimbingan wahyu, nah kalau MUI otoritasnya dari siapa? Apa ulama-ulama MUI itu dapat bimbingan wahyu? Penulis yakin, bahwa banyak dari ahli-ahli fiqih MUI tidak pernah melihat wujud Jin sekalipun walaupun dalam kasyaf, oleh karena itu bagaimana mungkin bisa melihat malaikat? Atau mendapat berita dari Malaikat bahwa walaupun orang-orang Ahmadiyah itu mengucapkan dua kalimah syahadat akan tetapi mereka itu kafir?

    Terus terang, penulis dibesarkan di keluarga besar Islam Radikal dan belajar di pesantren radikal pula akan tetapi penulis telah bertaubat dari cara berfikir orang-orang radikal. Penulis dulu adalah pengagung Muhammad bin Abdul Wahhab, Sekarmaji Kartosuwiryo, Muhammad Nasir, A Hassan dan lain-lain. Sekarang penulis lebih nyaman dalam ke-tawadhu'-an, tidak takabbur dan tidak merasa calon ahli surga sendirian sedangkan yang lain dhalālah (sesat) dan finnār (di neraka). Demi Allah, saya menyaksikan banyak kebohongan dan fitnah yang telah dituduhkan kepada Ahmadiyah baik dari orang MUI seperti Amin Jamaluddin, Amidan, Ma'ruf Amin atau kelompok Islam radikal yang lain. Untuk itu saya menghimbau:

"KEPADA SAUDARA-SAUDARAKU YANG MASIH BERADA DI JALAN ISLAM RADIKAL dan FANATIK, HENTIKAN KEBOHONGAN-KEBOHONGAN DAN FITNAH ATAS NAMA 'PENYELAMATAN AQIDAH ISLAM', dan 'BERTAUBATLAH'. dengan BERTAUBAT, INSYA ALLAH NEGERI INI AKAN SEGERA KELUAR dari BALA BENCANA DAN JERATAN KEKERASAN ATAUPUN TERORISME. BIARKAN HAK ALLAH TETAP PADANYA, JANGANLAH KITA MENGHUKUMI SESEORANG DENGAN CAP 'SESAT' ATAU 'KAFIR', KARENA ITU HANYA HAK ALLAH. TAK PANTAS KITA MENJADI SEKUTU ALLAH.


 

Semoga Allah mengampuni dan menyayangi kita semua. Damailah Indonesia, damailah ummat manusia. Amin.

Jazakumullah khairaljaza.

Minggu, 02 Desember 2007